TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai inkumben memiliki keunggulan tersendiri di mata investor, yaitu kebijakannya sudah bisa diprediksi. "Investor sudah tahu kebijakannya," ujar dia di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis, 17 Januari 2019.
Baca: Jokowi Teken Aturan Modal Awal BP Tapera Rp 2,5 Triliun
Menurut dia posisi Jokowi sebagai inkumben memang memberikan keuntungan. Pasalnya karakteristik investor sejatinya adalah mencari kestabilan dalam berbisnis. Sementara apabila berganti presiden baru, tentu kebijakannya belum bisa ditebak.
Para investor, menurut Chatib, juga kerap mempertanyakan apakah kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh presiden anyar akan cocok atau tidak dengan keberlangsungan bisnisnya. "Jadi memang keunggulan inkumben adalah kebijakannya bisa diprediksi," kata Chatib. "Tadi saya bertemu investor, mereka bertanya, kalau Prabowo (Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto) menang policy-nya berubah enggak?"
Selain itu, Chatib mengatakan kekhawatiran investor kepada presiden anyar adalah perlunya waktu penyesuaian lagi dalam penerapan kebijakan-kebijakan. Kadangkala ada kebijakan populis dijalankan dalam jangka pendek dan bisa menimbulkan persoalan. Kendati, ia yakin dalam jangka waktu dua tahun, kondisi pemerintahan mana pun diperkirakan akan kembali normal.
Namun, ia memastikan bahwa investor sejatinya tidak bersifat partisan. Para pemegang modal, menurut Chatib, hanya berideologi duit dan profit. "Jadi jangan mengharap investor itu seorang aktivis," ujar Chatib.
Ia lantas mengambil contoh pemilihan presiden di Amerika Serikat yang memenangkan Presiden Donald Trump. Kala itu, Trump adalah sosok yang kurang disukai masyarakat. Namun, ketika Trump menang, kondisi pasar modal bukannya memburuk, malah tetap melambung.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyebut pelaku pasar mengambil posisi wait and see lebih lama pada Pemilihan Umum 2019 ketimbang pada perhelatan serupa periode-periode sebelumnya. Perilaku pasar tersebut disebabkan oleh masa kampanye yang lebih lama pada perhelatan kali ini ketimbang sebelumnya.
"Karena kali ini masa kampanye terlama, hingga enam bulan," ujar Yunarto. Masa Kampanye Pemilu 2019 dimulai pada 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, masa kampanye tidak selama itu lantaran terbagi dua pemilihan umum, yaitu Pemilihan Legislator dan Pemilihan Presiden.
Di samping itu, Pemilihan Umum 2019 juga digelar dengan sistem yang berbeda ketimbang sebelumnya, yaitu dengan menyerentakkan pemilihan presiden dan pemilihan legislator. Sehingga, masyarakat, termasuk juga pemerhati politik, masih meraba-raba pola pesta demokrasi tahun ini akan seperti apa.
Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia Michael Tjoajadi menyebut respons pasar nantinya akan ditentukan oleh visi dan misi para kandidat tentang perekonomian. Sebab, dua hal tersebutlah yang akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung kepada perkembangan pasar. "Apakah akan sama atau berbeda akan kita lihat, termasuk bagaimana jalannya dan bagaimana rencananya akan kita perhatikan," kata dia.
Baca berita lainnya tentang Jokowi di Tempo.co.